Al-sunnah
sebagai Ajaran Agama Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Sunnah merupakan segala sesuatu yang
bersumber dari nabi Nabi Muhammad saw. Baik itu perkataan, perbuatan, dan
taqrir. Kebanyakan umat islam setuju menerima al-sunnah sebagai sumber ajaran
islam yang tidak terpisah dari kitab al-Qur’an tetapi ada juga sebagian yang
tidak bisa menerimannya. Dalam sumber ajaran islam,ada tiga sumber antara lain:
Al-Qur’an sebagai peraturan dasar pokok islam yang berasal dari Allah swt.,
Al-Sunnah ialah sebagai peraturan islam yang berasal Rasulullah saw., Ijihat
yaitu undang-undang islam atau peraturan hukum yang disampaikan orang-orang
muslim yang berintelektual. Rasulullah mengharapkan umatnya mengikuti beliau.
Oleh sebab itu, hadis Nabi yaitu sebagai sumber bagi ajaran islam,selain
al-Qur’an,karna al-Qur’an membutuhkan al-Sunnah untuk menjelaskan, menafsirkan
, mengulas dan melaksanakannya. Cara pendidikan dalam al-Sunnah adalah: cara pendidikan baru,dengan cara berfikir
induktif dalam menjalankan belajar mengajar,teori pendidikan yang diambil atas
paham naturalisme, dengan cara learning
by doing ,cara reward and pusihment, cara
pembiasaan tidak secara langsung , cara
pentahapan dengan pengulangan. Metode penyusunan buku al-Sunnah , buku ini
diurutkan berdasarkan tema pertama, sehingga mudah saat dibaca, ditambah lagi
dengan sistematika yang sangat menarik dengan memasukan beberapa tema utama
terhadap setiap bab,mempermudah pembaca, agar bisa konsentrasi terhadap tema
yang sedang dibaca.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
al-Sunnah sebagai Ajaran Agama Islam
Pengertian Sunnah dalam
bahasa yaitu:“Jalan yang terpuji dan atau yang tercela”.
Sedangkan pengertian al-Sunnah
dalam istilah dikalangan para ulam’ lain pendapat. Hal ini dikarnakan perbedaan
latar belakang,pandangan menurut sudut
padang masing-masing terhadap diri Rasullullah saw.Mereka terkelompok menjadi
tiga golongan yaitu:1)ahli hadis, .2)ahli usul dan 3)ahli fiqih.
Dengan definisi diatas,para ahli hadis
menyetarkan antara hadist dan
sunnah.Kelihatannya para ahli hadist mengartikan bahwa makna sunnah di ambil
dari seluruh kebiasaan Nabi Muhammad saw.
Pengertian sunah menurut
ulama’ Usuliyyin yaitu: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw,baik
itu perkataan ,perbuatan dan taqrir Nabi yang dapat digunakan sebagai dalil
hukum syara’.
Pengertian sunnah menurut
para ulama’ ahli fiqih yaitu:“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi saw.selain
yang difardukan dan diwajibkan dan termasuk hukum(taklifi) yang lima”
Kebayakan umat islam setuju menerima
al-sunnah sebagai sumber ajaran islam yang tidak terpisah dari kitab suci al-Qur’an.Tidak
kemungkinan bahwa banyak sebagian umat islam ada yang tidak bisa menerimannya.
Kelompok yang tidak bisa menerima al-Sunnah
sebagai ajaran islam ada dua kelompok yaitu: a)Kelompok yang tidak bisa
menerima al-sunnah secara keseluruhan, b)Kelompok yang tidak bisa menerima
tentang hadist saja.
Imam syafi’i berpendapat bahwa didalam
kitab al-Umm menjelaskan kelompok yang tidak bisa menerima al-Sunnah untuk menjadi sumber ajaran islam dengan panjang,lebar,disertai
dengan penjelasan-penjelaan mereka dan imam Syafi’i menyangkal penjelasan
mereka dengan penjelasan-penjelasan yang kokoh dan menempatkan permasalahannya
secara tempatnya. Ia membagi kelompok yang menyangkal atau menentang al-sunnah
menjadi tiga kelompok,yaitu: a)Kelompok yang tidak bisa menerima atau menolak
al-Sunnah secara keseluruhan, baik itu yang mutawir
ataupun yang ahad, b)Kelompok
yang menentang al-Sunnah kecuali yang menerimanya jika terdapat kesamaan
terhadap al-Quran, c)Kelompok yang menentang al-Sunnah ahad.
Selain dari kitab al-Ummu,
Imam Syafi’i juga membahas sedikit para penentang hadis ini yang terdapat di
kitab ar-Risalah dengan panjang
lebar.Didalam kitab ar-Risalah Imam
Syafi’i menjelaskan dalil-dalil untuk membela al-Sunnah terdapat tiga golongan
tersebut.
Di samping itu mereka
menentang al-sunnah ,sebab al-Sunnah itu zanni
al-wurud yang tidak sama dengan al-Quran yang qat’i al-wurud .sementara apabila di pandang dari segi
artinya(dalalah-nya) baik al-Qur’an maupun as-sunnah ada yang qat’i-dalalah(muhkamat) tetapi ada juga
yang zhanniy ad-dalalah.
Al-sunnah
sebagai Sumber Ajaran Islam
Al-Quran memuat khusus-khusus ajaran islam secara menyeluruh ,absolut dan
umum yang membutuhkan penjelasan,pembatasan,dan pengkhususan atau secara umum
bisa diartikan bahwa al-Qur’an membutuhkan penjelasan lebih lanjut.al-Quran
dilihat dari sumber hukum yaitu asas atau dasar islam.Ia mengatur dasar dan
petunjuk humum mengenai hubungan seorang muslim dengan penciptanya dan hubungan
seorang muslim antar muslim yang lain dengan umumnya.sedangkan al-sunnah yaitu
sumber hukum yang kedua ,dan apabila tidak terdapat terhadap pada keduannya
barulah diartikan ijtihad.
Sistematiknya yaitu sebagai berikut:
a)Al-quran adalah peraturan dasar pokok islam yang berasal dari Allah swt., b)As-sunnah
,hadist yaitu peraturan islam yang berasal dari Rasululloh saw., c)Ijtihat
yaitu undang-undang islam atau peraturan hukum yang disahkan orang-orang muslim
yang berintelektual.
Dengan 666 ayat atau ada yang
menghitung 6236 ayat al-Quran menentukan asas bagi kehidupan.Menangani
prinsip-prinsip dan arah bagi kehidupan yang meliputi ersoalan dunia dan
akhirat.
Setiap hubungan membutuhkan undang-undang.
Jika tidak ada maka akan terjadi salah hubungan.Dengan adanya undang-undang
maka terkondisikanlah hubungan tersebut. Islam menangani hubungan seorang
manusia dengan Allah,hubungan seorang manusia dengan manusia dan hubungan
seorang manusia dengan alam sekitarnya. Dasar undang-undangnya adalah al-Qur’an.
Disebuah keteraturan ada harmoni,keserasian dan keseimbangan.demikian juga
didalam al-Quran terdapat harmoni.
al-Quran membutuhkan al-Sunnah untuk
menjelaskan,menafsirkan, mengulas dan melaksanakannya. Oleh karna itu,al-Quran
lazimnya bersifat dasar dan umum. Disaat al-Quran memerintahkan salat, puasa, zakat, haji taqwa dan beramal
shalih,bagaimanakah kita melaksanakan syarat-syarat, rukun-rukun dan lain-lainnya
yang tidak dijabarkan dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu al-Qur’an membutukan
al-sunnah untuk menjadi penjelasan,penafsiran,pengulasan,perincian dan
pelaksanaannya dalam berbagai bentuk bayan.
Nabi Muhammad saw. Dengan sunnahnya
memberikan contoh yang jelas ,bagaimana cara mengamalan al-Quran dalam
kehidupan kita sehari-hari. Oleh sebab itu al-sunnah sangatlah penting
kedudukannya didalam islam sebagai sumber hukum islam kedua sesudah al-Qur’an.
Selain itu mempelajari sirah nabawiyah
sangatlah penting untuk mengetahui islam secara utuh , karena sesungguhnya
islam secara keseluruhan menjelma didalam kehidupan Nabi Muhammad saw.
Demikianlah dalam sebuah perjalanan
umat manusia Allah swt. Memerintahkan Nabi demi Nabi sampai 120.000 orang dan
memerintahkan Rasul demi Rasul sampai 313 orang Rasul. Oleh sebab itu sejarah
menyiarkan terjadinya perubahan atau perbaikan pada sebuah bangsa tertentu
didalam kurun dan ruang tertentu. Nabi Muhammad saw. Lahir 570 Masehi di Makkah
dan wafatnya pada 623 Masehi di Madinah. Al-quran yang bawa oleh Nabi Muhammad
saw.menjelaskan bahwa beliau adalah utusan dari Allah swt. Yang terakhir
sebagaimana yang dijelakan di firman Allah swt.
Menurut Imam Syafi’i kelompok yang
menolak hadis dapat menyebabkan hukuman yangberat sekali,karana kalau kita
mengikuti pendapat-pendapat mereka,maka kita tidak mengetahui bagaimana cara-cara menjalankan salat, puasa,
zakat, dan haji yang didalam al-Qur’an disebutakan secara khusus saja.
Sedangkan kita dapat menjalankan dan mengamalkan ibadah tadi dengan penjelasan
dari Nabi Muhammad saw.atau hadis.
Hadis
sebagai Sebuah Fakta Sejarah
Secara
Historis,hadis yaitu sebuah reportase terkait
dengan masa lampau,dalam hal ini adalah semua sesuatu yang
dianutterhadap sisi-sisi kehidupan Nabi Muhammad saw. Hadis yaitu merupakan
fakta-fakta masa lampau dan diceritakan melalui sanad yaitu sebuah kenyataan yang tidak dapat ditentang. Untuk itu,di
atas yaitu pendapat-pendapat yang emmbuktikan bahwa hadis yaitu sebuah sejarah fakta,bukan spekulasi saja.
Hasil dari Pembelajaran Kritik Hadis
Dalam sebuah
pembelajaran kritik hadis dikenal dua macam pembelajaran kritik hadis yaitu:
Kritik eksternal yang objek kajiannya yaitu diambil dari sanad hadis ,dan pembelajaran kritis internal yang objek kajiannya
diambildari teks hadis. Acuan dari dua pembelajaran kritik hadis ini biasanya
diambil dari faedah kesahihan hadis(yaitu lima tokoh ukur yang menjadi batasan
istilah hadis shahih), walaupun oleh penulis harus direkontruksikan dengan
memperhatikan beberapa kekurangan metodologisnya.
Lima tokoh yang menjadi kaedah
kesahihan sanad hadis di atas beroriebtasi terhadap buktik yang valid dari
sebuah berita yang didomonasi sebagai hadis nabi dari persepektif tingkat
kredibilitas periwayat hadis ada terdapat keterkaitan diantara para
periwayatannya. Sementara empat para tokoh yang menjadi kaedah kesahihan madn
hadis di atas dapat juga dikatakan berorientasi terhadap pembuktian validitas
isi dari teks hadis secara konseptual ,dimana ia harus dihadapkan terhadap
konsep-konsep yang ada didalam al-Qur’an, hadis nabi sendiri, pemikiran,
indera, fakta sejarah, dan nilai kelayakan utuk sebuah sabda Nabi.
Kalau ternyata seperti itu
kenyataan,maka sebenarnya kedua pembelajaran kritis hadis di atas baru memberi
hadis-hadis nabi yang sebagai suatu objek penelitian saja ,dalam kenyataan ini yaitu
pembuktian tingkat validutas suatu fakta
sejarah terkait dengan sesuatu yang dikaitkan kepada Nabi.
Hadis
adalah Sumber Ajaran Islam
Sejarah historis ,dari
zaman Nabi Muhammad saw.(632 M.) umat muslim setuju untuk menjadikan hadis
untuk salah satu sumber ajaran islam ,selain al-Qur’an. Tidak ada bukti yang
zaman dulu yang bisa menjelaskan adanya sikap dari kelompok muslim yang pada ssat
itu menentang al-Sunnah (hadis) untuk
salah satu sumber ajaran islam. Bakhan pada masa al-khulafa’ al-rashidun (632-661).
Dan Bani Umayah (661-750
M), belum terlihat dengan jelas adanya kelompok dari umat muslim yang menentang
al-Sunnah sebagai sumber ajaran islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah
(750-1258 M),muncul dengan jelas segolongan kecil umat muslim yang menetang
al-Sunnah untuk salah satu sumber ajaran islam.Mereka inilah yang kemudian disebut
golongan inkar al-Sunnah atau minkir
al-Sunnah.
Ayat-ayat
tentang Perintah untuk Taat Kepada Rasululloh
Nabi Muhammad saw. berkedudukan
sebagai Rasul dalam al-Qur’an yaitu
terkait dengan misi tentang ketauhitan dalam membuat sebuah organisasi
masyarakat “imani” sesui dengan risalah atau kitab suci al-Qur’an. Oleh sebab
itu, banyak ditemukan dalam ayat-ayat al- Qur’an yang mewajibkan bagi kaum
muslim untuk menaati sabda-sabda beliau. Menaati beliau yang berarti menaati
Allah swt.
Setelah melihat ayat-ayat tersebut
diatas, bahwa umat Nabi Muhammad saw. diharapkan untuk supaya mengikuti beliau.
Oleh sebab itu,hadis atau al- Sunnah Nabi yaitu sebagai sumber bagi ajaran
islam ,selain al-Qur’an. Orang yang menentang atu menolak hadis sebagai sumber
ajaran bagi umat islam berarti orang tersebut menentang petunjuk-petunjuk dari
Allah swt.
Kontekstualisasi
Hadis dari Makna Lokal Temporal Menuju Makna Universal
Diambil
dari fenomena pertama ,sebagai suatu fakta sejarah,hadis yaitu sebagai suatu
produk sejarah yang pasti terhubung oleh konteks ruang dan waktu. Oleh karna
itu, hadis tidak bersifat umum. Hadis yaitu sebuah produk masa lampau dan dalam
konteks masa lampau. Produk masa lampau ini jelas lain dari masa sekarang ,
karena kontes waktu dan ruang sekarang memang sudah tak vseperti dulu lagi dan
sekarang sudah berkembang. Islam padaa saat ini sudah menjadi agama
dunia,dimana sudah terjadi hubungan islam
dengan konteks ruang dan waktu yang tidak sama dengan islam abad ke 7 M
di dunia Arab. Di samping itu Nabi Muhammad saw. sendiri secara fisik terikat
oleh sebuah hukum alam manusiawi,dimana tidak semua yang berasal dari beliau pasti
berarti tashir (ajaran).
Sementara itu ,dilihat dari fenomena kedua
,untuk sumber ajaran islam,hadis harus diberikan pada posisi ajaran yang
bersifat umum. Oleh sebab itu, hadis harus bisa melewati batas-batas ruang dan
waktu. Hadis yaitu salah satu asas al-tashri
untuk umat muslim di semua tempat dan waktu. Hadis tidak hanya sebagai suatu
fakta sejarah ,akan tetapi mempunyai kekuatan untuk manaruh ajaran-ajaran yang
wajib diikuti oleh semua umat muslim dimana saja dan kapan saja. Oleh sebab
iti,maka Nabi Muhammad saw.harus diposisikan sebagai sosok seseorang diluar
konteks historisnya (trans-historis Arab ke 7 M).
Ada beberapa hal yang wajib
diperhatikan mengenai dengan proses pemaknaan hadis yaitu: a)Sebagian hadis
Nabi memuat arahan yang bersifat targhib (hal-hal
yang memberikan harapan) dan tarhib (hal-hal
yang memberikan ancaman) dengan tujuan untuk memajukan umatnya suka melakukan
amal kebaikan tertentu dan berusaha meninggalkan larangan-larangan agama, b)Ketika
bersabdah, Nabi menggunakan pernyataan atau ungkapan yang tidak melenceng
terhadap kadar intelektual dan keislaman orang yang diajak berbincang ,meskipun
secara universal apa yang dinyatakan oleh Nabi belaku bagi semua umat beliau.,
c)Terjadinya hadis, ada yang didahului oleh suatu kejadian yang menjadikan
lahirnya hadis tersebut, d)Sebagian dari hadis ada yang telah mansukh (terhapus masa berlakunya), e)Mengikuti
petunjuk al-Qur’an (misalnya surat Al-kahfi :110), ketahuilah bahwa Nabi Muhammad
selain sebagai Rasululloh juga sebagai manusia biasa. Dengan demikian, ada
hadis yang kuat hubungannya mengenai kedudukan beliau sebagai utusan Allah swt.
Disampin ada juga yang erat hubungannya dengan kedududkan beliau sebagai
individu, pemimpin masyarakat, dan pemimpin negara, f)Sebagian hadis Nabi ada
yang memuat mengenai hukum dan ada juga yang memuat tentang himbauan dan
motivasi tentang kebajikan hidup duniawi.
Keenam hal diatas, sebenernys
mengingatkan pada kita semua akan adanya aspek-aspek(konteks) historis dari
sebuah Nabi. Sehingga, dalam melaksanakan proses pengartian hadis, seharusnya
keenam hal tersebut harus jadi pertimbangan utama dalam sebuah mencari arti
konteks dari sebuah matn hadis secara cepat maka proses dari kontekstualisasinya dari
sebuah matn hadis bisa dilakukan
secara tepat,yang pada akhirnya nanti proses pengartian dari hadis yang
bersifat historis dan tidak umum dan bisa berubah menjadi sebuah ajaran yang
bersifat umum. Dalam hal itu, maka penulis menawarkan sebuah cara untuk
menganalisis hadis dalam konteks
sekarang,dimana cara itu akan menetapkan hadis sebagai sebuah ajaran yang halil li kull zaman wa makan. Cara yang
dimaksud yaitu tiga cara tipologi matn hadis:
a) Tipologi matn hadis yang bersifat
umum, b) Tipologi matn hadis yang bersifat lokal-partikur-yang sesuai dengan
budaya Arab pada saat itu, c) Tipologi matn
yang bersifat kasuistik.
Beberapa
Sahabat yang Terindikasi Terkena Tajrih
Menurut Mahmud Abu Rayyah
,ada beberapa para sahabat yang tersangka nrgative dengat mengeluarkan beberapa
hadis maudu. Menurut para ahli
sejarah mengemukakan bahwa Wahab bin Munabbah ialah orang Persia asli. Kemudian
nenek moyangnya pindah tempat ke Yaman
dalam sebuah jumlah yang banyak untuk selanjutnya mereka berkediaman
disana,sehingga mereka dapat tahu tentang kebiasaan Arab dengan menggunakan
sistem silsilah keturunan, dengan itu dia menyebut dirinya dengan sebutan
keturunan Persi, Salah satu diantara mereka yaitu Taawus bin Kaisan seorang tabi’in yang terkemuka.
Nenek moyang Wahab bin Munabbah
menganut agama majusi pada mulannya tetapi disaat membaur dengan orang-orang
Yahudi di Yaman, mereka mengambil peradaban mereka dan ikut serta dalam ajaran
tersebut,sehingga akhirnya mereka mengetahui dengan hal yang berhubungan dengan agama Nasrani.
Dengan demikian, Wahab bin muhabbah mngetahui tentang kebiasaan orang Yunani
dan mendapat ajaran-ajaran ahlul Kitab.
Para sahabat Nabi banyak yang mengambil
penjelasan dari Wahab bin Munabbah, diantaranya ialah Abu Hurairah,Abdullah bin
Amr,Ibn Abbas ,Jabir bin Abdullah. Hampir keseluruhan kitab induk mengambil
dari penjelasan dari Wahab bin Munabbah ,tidak terkecuali Imam bukhari dan Imam
muslim. Imam bukhari meriwayatkan tiga hadist dengan bebagai variasi tema, Imam
Muslim dengan meriwayatkan lima hadis dengan variasi tema, Imam Abu Daud juga
meriwayatkan enam hadis juga dalam tema yang bervariasi,Imam Tirmiji
meriwayatkan lima hadis dua hadis yang mempunyai tema lainan .
Kritik
Abu Rayyan Terhadap Internal Teks (Matan)
Sebagaimana
diktakan oleh Abu Rayyan bahwa kelompok ulama’ hadis hanya mempertimbangkan
permasalahan sanad saja,sampai –sampai permasalahan sama halnya dengan di masak
terlalu lama sampai hampir gosong. Akan tetapi, mereka masih kurang
memperhatikan adanya kritis tekstual, yaitu kritik matan hadis tersebut berasal
dari Rasulullah atau bukan. Berdasarkan ketidak tenangannya itu, dia menawarkan
cara-cara yang berhubungan dengan kritik matan ,yakni: a)Teori komparasi
tentang kebenaran teks, b)Teori tentang keaslian(autentik) sumber teks, c)Teori
tentang isi teks
90
Muncul
dan berkembang paham inkar sunah
Pada awal sama
Abasiyah (750-1258 M),barulah kluar secara jelas golongan kecil umat islam yang
menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Musthafa al-Siba’ juga
menjelaskan bahwa abad kedua(hijrah) belum terlalu, Sunnah telah di uji oleh
mereka yang tidak menepati sebagai salah satu sumber hukum penepatan syariat
islam, baik yang tidak menepatinya secara menyeluruh, maupun yang tidak
menepati Sunnah yang tidak mutawir, dan yang tidak mempercayai al-sunnah al-mustaqillah sunah yang
bukan merupakan penjabaran dan bukan juga pengokoh al-Qur’an. Terhadap yang
terakhir ini, Sunnah berdiri sendiri, Imam Ibnu Qoyyim meriwayatkan bahwa ini
bukan berarti mendahulukan Sunnah al-Qur’an,tetapi ini justru menaati perintah
Allah agar mengikuti Rasulnya. Kalau didalam hal ini Rasul titak diikuti, maka
tidak ada artinya ketaatan terhadapnya,dan gagallah ketaatan terhadap Rasul
yang bersifat khusus (pada hal-hal yang tidak dicantumkan dalam al-Qur’an).
Hal tersebut dapat dimengerti dari penjabaran
Imam Syafi’i didalam kitab Jima’ al-Ilmi yang
merupakan bagian dari kitab al-umm. Disitu ia membuat pasal khusus yang berisi
panjang lebar pertentangannya dengan orang yang dinamakannya sebagai ‘ahli
tentang mazhab teman-temannya’ yang menentang Sunnah secara keseluruhan. Di
antara pendapat yang dijelaskan golongan inkar Sunnah secara sekilas dapat
disimpulkan sebagai berikut:a) Al-Qur’an diturunkan sebagai penerang untuk
segala sesuatu,bukan yang diterangkan. Jadi al-Qur’an tidak memerlukan
keterangan dari Sunnah-sunnah, b)Al-Qur’an bersifat qat’iy( pasti,absolut
kebenarannya), sedangkan Sunnah itu sendiri bersifat dzanniy (bersifat relatif kebenarannya) maka apabila terjadi
permasalahan antara keduannya Sunnah tidak bisa berdiri sendiri sebagai sebuah
produk hukum baru, b)Jika diantara fungsi Sunnah sebagai pengokoh (muakidah)
terhadap hukum di al-Qur’an, maka yang diikuti ialah al-Qur’an, bukan Sunnah,
c)Jika sudah merinci(tafshil)
keseluruhan ayat al-Qur’an ,maka tidak mungkin akan terjadi al-Qur’an yang
bersifat qat’yi dijelaskan dengan
Sunnah yang bersifat dzanniy dan tidak kafir pengingkarannya, d)Sunnah mutawatirah tidak bisa memberikan
kepastian(qat’yi) karna jalannya
melalui ahad. Bisa jadi, didalamnya
terdapat pengingkaran.
Inkar
Sunnah di Indonesi
Pemikiran
tentang inkar Sunnah kluar secara terang-terangan di Indonesia sekitar pada
tahun 1980-an. Kemungkinan besar jauh sebelum itu pernah terjadi penyebaran
secara sembunyi-sembunyi seperti yang pernah dilakukan orientalis Snouck
Hourgronje.tertulis nama-nama tokoh mereka antara lain Lukman Saad ,H .Abd
al-Rahman, Ir ircham Sutarto, H. Sanwani, Dalimi Lubis, Nazwar Syamsu,dan
lain-lain.
Pada
tahun 1983-1985 gerakan inkar Sunnah di Indonesia telah samapai keunggulannya
sehingga membuat menghebohkan masyarakat Islam dan sampai memenuhi halaman
berbagai harian koran dan majalah. Pusat pergerakan mereka dijakarta, kemudian
bogor,jawa barat, tegal, jawa tengah, dan padang- sumatra barat. Penyebar
luasan pemikiran ini dilakukan oleh beberapa cara ,diantaranya yaitu melalui
cara pengajian di beberapa masjid atau musholah, diktat tulisan tangan, ceramah
melalui media elektronik ,dan buku.mereka menyebut pengajian yang mereka
laksanakan dengan sebutan kelompok Qur’ani (kelompok pengikut al-Qur’an).
Pengajian yang diadakan mereka lumayan cukup ramai dan meriah dimana-mana dan
khususnya di Jakarta. Beberapa masjid yang ada di daerah Jakarta telah berhasil
mereka kuasai. Di antaranya masjid as-Syifa’ dirumah sakit pusat Cipto
Mangunkusumo,Jakarta. Pengajian tersebut telah dipimpin oleh H. Abdurrahman
Padurenan Kuningan Jakarta. Pengajian ini akan dimulai setelah ba’da magrib,
dan diikuti oleh banyak orang pengunjung. Lama kelamaan pengajian tersebut
tidak mau memakai azan dan iqamah disaat waktu mau sholat , karena mereka
berfikir bahwa itu semua tidak tercantum pada dalam al-Qur’an, sedangkan semua
sholatnya dijadikan menjadi dua raka’at.
Polemik
barzanji yaitu: tradisi, Sunnah, dan bid’ah
Kajian kritis barzanji di Indonesia
bisa dikatakan masih belum menyentuh terhadap tataran normatif, namun belum
menyentuh terhadap kajian kritis terutama perdebatan kebiasaan barzanji sebagai
sunnah ataupun bid’ah. Penelitian terhadap masalah tersebut menjadi penting,
karena selama ini belum pernah ada riset yang sepesifik mengenai masalah
tersebut. Penelitian dahulu tentang tradisi barzanji seperti halnya Ahmad
Ta’rifin (2010) dalam Tafsir Budaya terhadap kebiasaan barzanji dan Manakib,
Muhammad Anas (2010) dalam Nilai Pendidikan Akhlak terdapat dalam Kitab
Barzanji, keduanya menyoroti barzanji adalah sebagai media dakwah sekaligus untuk
alat pendidikan akhlak untuk generasi muda agar senantiasa menjadikan Nabi
Muhammad Saw.sebagai uswatun hasanah, namun Muhammad Anas condong terhadap
kajian linguistik terhadap sastra barzanji menemukan bahwa ada nilai dan norma
yang dapat diteladani dari sosok Nabi Muhammad Saw. dalam membentuk moral dan
etika siswa/siswi disekolah. Kholid
Mawardi (2009) dalam Shalawatan: Pembelajaran Akhlak Kalangan Tradisionalis mempunyai
lokus pembelajaran sama dengan Ahmad Ta’rifin yang memprediksi tentang barzanji
sebagai alat mendidikan akhlak, begitu juga sebagai politik perlawanan terhadap
kalangan tradisionalis bahwa barzanji sebagai pembelajaran pendidikan akhlak
bagi santri yaitu cara resistensi terhadap pendidikan akhlak dikalangan
modernis yang mengakulturasikan nilai-nilai Barat terhadap sistem pendidikan
Islam. Namun demikian, pembelajaran terkait kebiasaan barzanji tidak hanya
dalam bingkai pendidikan akhlak saja. Namun kajian yang dijalankan oleh M.
Junnaid (2008) dalam Tradisi Barzanji Sya’ban Masyarakat Bugis Wajo di Pantai
Tanjung Jabung Timur ,maupun Sri Sukatmi (2005) dalam Perkembangan Seni
Barzanji tempatnya di Pondok Pesantren
Roudlotul Muta’allimin menjelakan adanya survivalitas bagi kebiasaan barzanji
untuk mempertahankan kebiasaan ditengah permasalahan modernisasi dan
globalisasi. Bahkan Sri Sukatmi dalam kajiannya tersebut menlihat adanya
kebutuhan berkesenian untuk masyarakat di bagian Pondok Pesantren Roudlotul
Muta’allimin terhadap perkembangan kebiasaan barzanji untuk sarana hiburan dan
pembelajaran terhadap masyarakat. Pada akhirnya, barzanji atau dalam bahasa
masyarakat disebut berjanjen ini menjadi ajang perlombaan suara merdu dalam
pembacaan kitab barzanji tersebut.
Membahas tradisi barzanji dalam suatu perdebatan sunnah ataupun bid’ah
menghubungkan pada konestasi antara kalangan modernis dan tradisionalis yang
padaakhirnya membawa implikasi secara general mengenai keabsahan sah dan tidaknya
peringatan maulid diadakan di Indonesia. Demikian hal itu, masih menjadi
pemasalahan sampai saat ini dalam kalangan umat muslimin Indonesia.
Walaupun barzanji bagian dari tradisi yang
diakui oleh pemerintah, namun sebagian ada yang menganggap bahwa tradisi pembacaan
kitab barzanji tersebut tidak terdapat dalam al Quran dan Hadits secara
eksplisit, sehingga dianggap bid’ah baginya. Pemahaman bid’ah yang disebut pada
ajaran barzanji itu sendiri ternyata juga terpecah dalam dua jenis yaitu:
bid’ah mazmumah yang mengumpulkan pendapatnya melalui pendekatan normatif
tekstual bahwa ia mengangga berzanji yang tidak terdapat ajarannya dalam al
Quran dan Hadits ialah menyesatkan. Pendapat kedua adalah bid’ah mahmudah yang
menilai bawasannya pembacaan barzanji memang tidak ada suruhan dalam al Quran
dan Hadits, namun secara ajarannya tidak bertentangan dalam Islamnya karena mengajak
terhadap kebajikan yaitu sesungguhnya malah meningkatkan iman dan takwa kita
kepada Allah Swt. Mendudukkan barzanji
dalam perkataan Sunnah ataupun bid’ah membawa kita kepada pemahaman mengenai
konstruksi pengetahuan yang berada di belakang tersebut. Konstruksi tersebut
bisa berupa kajian ideologi maupun teologi yang mendasarinya karena adanya
konstruksi tersebut. Barzanji yang sesungguhnya sebagai sebuah wadah sastra
dalam budaya Islam yang tidak terlepas dari hal-hal tersebut. Oleh sebab itu,
perlu untuk didengarkan dasar dari kontruksi tersebut.
Manthuq
dan Mafhum
Manthuq
dan Mafhum adalah petunjuk yang menunjukkan arti yang dimaksud. Menurut Shihab
(2013: 168) sebuah kata atau kalimat dapat didengar, bisa jadi dapat dipahami
seperti apa adanya, tidak berlebih dan tidak berkurang tetapi bisa juga Peranan
Manthuq dan Mafhum untuk Menetapkan Hukum seorang pembaca dapat masuk ke dalam
kata ataupun kalimat tersebut sehingga muncul arti-arti baru yang tidak
berkontribusi langsung dengan apa yang terucapkan, meskipun dari jauh ada
kontribusinya. Abu Zahrah memaparkan bahwa petunjuk yaitu kata-kata yang
diambil dari segi kejelasan dan kualitas penjelasan itu yang bisa menginterpretasikan
sebagian kata-kata teks dengan sebagian lainnya untuk dijadikan metodke untuk
mengambil hukum-hukum dari nash tersebut. Pengertian dari kata-kata tersebut
petunjuk dapat diambil dari bermacam-macam metode. Bisa jadi satu kata dapat
menunjukkan beberapa arti yang saling berdekatan karena dipandang dari berbagai
macam segi. Menurut al-Hudhari , Imam al-Syafi’I membagi dilalah kepada dua
bagian, yaitu: mantuq dan mafhum. Khalaf mempresentasikan bahwa sebuah teks
syara’ terkadang mempunyai beberapa arti yang berbeda-beda dengan metode yang
berbeda-beda dari cara dilalahnya. Dilalahnya tidak terbatas pada sesuatu yang
bisa dimengerti dari perumpamaan teks dan hurufnya semata, namun terkadang bisa
dimengerti atas arti yang bisa dimengerti dari isyarat, dilalah dan
iqtidha’nya.
Pengertian manthuq Secara bahasa
manthuq berasal dari kata nathaqa yang artinya berucap. Manthuq adalah arti
yang dikandung oleh kata yang terucapkan. Al-Qatthan memaparkan manthuq adalah
suatu arti yang ditunjukkan oleh lafadh sesui ucapannya, yaitu petunjuk arti
berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Petunjuk kata terhadap arti,
adakalanya kepada bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang lontarkan
tersebut, baik secara tegas maupun kemungkinan mengandung arti lain dengan
taqdir mapun tanpa taqdir.
Pembagian manthuq Para ulama’ ushul fiqih
membagi manthuq menjadi tiga macam, yaitu: teks zhahir dan muawwal, Nash/teks
yaitu tidak membawa kemungkinan pengalihan arti. teks terbagi dua, ada yang jelas,
apabila kata yang dipakai menunjukkan dengan tegas dan jelas artinya, baik arti
itu sesuai sepenuhnya degan bunyi teks atau hanya dikandung artinya oleh teks.
Bagian ini disebut dengan ibarat al-nash.
9-1-PB
Etos
Kerja dan Keberagamaan
Dengan menghubungkan arti etos kerja di
atas dengan keagamaan, maka etos kerja yaitu suatu sikap diri yang mendasar
terhadap kerja yang merupakan suatu bukti dari kedalaman pemahaman dan
penghayatan keagamaan yang memdorong seseorang untuk melakukan yang terbaik
dalam suatu pekerjaan. Dengan kata lain, etos kerja ialah semangat kerja yang
dipengaruhi cara pandang seseorang terhadap suatu pekerjaannya yang berasal
dari nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Cara-cara etos kerja Islam, menurut
S. Husen Alatas yaitu memiliki tekanan yang sama dengan ciri khas yang dirujuk
Weber sebagai etika Protestan, yaitu seperti: tanggung jawab langsung kepada
Tuhan, kejujuran, kerja keras, hemat, disiplin waktu dan penuh perhitungan. Sikap-sikap
yang mencirikan etos kerja Islam ini juga diberitahukan oleh Marxisme Rodinson.
Bahwa Islam memotivasi manusia untuk
berupaya dan bekerja keras guna memdapatkan hasil kerja yang maksimal, hal ini
sangat jelas tercantum di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Kata “amal”
(bekerja), misalnya beserta kata-kata bentuk lainnya dari akar kata “’amila”
yang menggambarkan keluasan dan kedalaman pemikiran Islam mengenai kerja muncul
di dalam AlQur’an sekitar 602 kali dalam berbagai konteks yang behubungan dengan
manusia, keimanan, amal shaleh, kemaslahatan, hukum maupun pertanggung jawaban
di akhirat nanti. Bahkan Al-Qur’an menjelaskan pemikiran yang berdimensi
vertikal tentang kerja, karena menurut kitab suci tersebut bekerja itu
merupakan sebuah ibadah. Bagi Al-Qur’an, ibadah bukanlah untuk kepentingan
Tuhan, tetapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri, segala kebajikan
yang dilakukan oleh manusia yaitu untuk dirinya sendiri, sedangkan pula
kejahatan yang dilakukan akan merugikan dirinya sendiri. Weber dalam salah satu
tulisannya menjelaskan bahwa ada korelasi positif antara tingkat keberagamaan
seseorang dengan etos kerja. Teori Weber mengenai etika Protestan dan al-Qura’an
dan As-Sunnah Sebagai Sumber Inspirasi Etos Kerja Islami.
Hubungannya mengenai semangat
Kapitalisme yang memberi indikasi adanya korelasi positif antara ajaran keagamaan
dengan perilaku ekonomi. Secara kebenaran tidaklah seluruh aktivitas manusia
bisa dikatakan sebagai bentuk pekerjaan, karena di dalam arti pekerjaan
terdapat aspek yang harus dipenuhi yaitu: Aktivitasnya dilakukan karena ada
motivasi untuk mejadikan sesuatu sehingga muncul rasa tanggung jawab yang besar
untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Bekerja tidak sekedar
mencari uang, tetapi ingin mengaktualisasikannya secara optimal dan dapat memiliki
nilai transendental yang sangat luhur. Baginya, bekerja itu ialah suatu ibadah,
sebuah upaya untuk memperlihatkan performance hidupnya dihadapan Ilahi, bekerja
seoptimal mungkin semata-mata karena merasa ada panggilan untuk memdapat ridha
Allah Swt. Oleh karna itu, sangat tidak mungkin seorang muslim yang mengaku
dirinya sebagai wakil Allah mengabaikan arti keterpanggilannya untuk bekerja
dengan sempurna. Semua pekerjaan dijalankan karena kesengajaan, direncanakan,
untuk itu termasuk di dalamnya suatu kesenangan, semangat untuk menggerakkan
semua kebisaan yang dimilikinya sehingga apa yang dilakukannya benar-benar
mendapatkan kepuasan dan manfaat. Apa yang dikerjakannya memiliki alasan-alasan
untuk mencapai suatu arah dan tujuan yang luhur, yang secara dinamis memberikan
arti bagi diri dan lingkungannya, sebagaimana misi dirinya yang harus menjadi
rahmat bagi alam semesta.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa arti bekerja untuk seorang muslim merupakan suatu upaya yang sungguh-sungguh,
dengan menggerakkan semua aset, pikiran dan zikirnya untuk menampakkan arti
dirinya sebagai hamba Allah Swt. yang wajib menundukkan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik ,bukan manusia yang lupa
dengan sang penciptannya atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa hanya
dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Terbentuknya Etos Kerja Islami Manusia
bukanlah suatu entitas homogen, tetapi melainkan realitas heterogen yang tidak
jarang merupakan berceceran yang tidak teratur. Butuh disadari kesukaran
memahami manusia, dikarenakan banyaknya persoalan yang terdapat dalam diri
makhluk yang berbeda-beda ini. Ia tidak mudah didekati secara menyeluruh, namun
bukan berarti tidak mungkin dilakukan pendekatan secara demikian. Menurut Hanna
Djumhana Bastaman ciri manusia, yaitu : ia adalah kesatuan dari empat dimensi
yakni : fisik-biologis, mental-psikis, sosio-kultural, dan spiritual. Kajian
mengenai perilaku manusia tidak cukup kalau hanya menggunakan studio objektif
saja. Salah satu ciri yang sangat mendasar pada etos kerja manusia, ia adalah
pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja. Menurut Sardar,
nilai-nilai merupakan sama dengan konsep dan cita-cita yang mengarahkan
perilaku individu dan masyarakat. Sesama dengan itu, Nakamura juga menjelaskan
lagi bahwa manusia ialah mahkluk yang diarahkan dan bisa terpengaruh oleh
keyakinan yang mengikat dirinya. Salah atau benar, keyakinan tersebut niscaya
mecirikan perilaku orang bersangkutan. Dalam konteks ini selain keperluan dan aktualisasi diri, keyakinan
atau pembelajaran agama tentu bisa juga menjadi sesuatu yang berperan dalam
jalan terbentuknya sikap hidup mendasar ini. Etos kerja itu bukan
sesuatu yang dipengaruhi oleh mengenai fisik lahiriah. Etos kerja adalah buah
atau pancaran dari suatu dinamika kejiwaan pemiliknya atau sikap batin orang
tersebut. Membayangkan etos kerja tinggi tanpa keadaan psikologis yang
memotivasinya hampir sama dengan membayangkan etos kerja robot atau mahkluk
tanpa jiwa. Dalam hal ini, tentu bukan etos kerja demikian yang diinginkan.
Lebih dari itu perlu diingat penting bahwa manusia adalah mahkluk biologis,
sosial, intelektual, spiritual dan pencari Tuhan. Ia berjiwa dinamis. Sebab itu,
manusia dalam hidupnya termasuk dalam kehidupan kerjanya sering mengalami
kesulitan untuk membebaskan diri dari penghasut faktor-faktor tertentu, baik
yang bersifat internal ataupun eksternal. Yang bersifat internal muncul dari
faktor psikis contohnya : dari dorongan kebutuhan, frustasi, suka atau tidak
suka, persepsi, emosi, kemalasan, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat eksternal,
datangnya dari luar contohnya : faktor fisik, lingkungan alam, pergaulan,
budaya, pendidkan, pengalaman dan latihan, keadaan politik, ekonomi, imbalan
kerja, maupun janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran agama. Kesehatan pun
menggunakan peranan amat penting. Dengan membuat perbandingan akan terlihat
perbedaan etos kerja Islami dan etos kerja non agama. Perbandingan antara
keduanya yaitu sebagai berikut :
Persamaan Etos kerja non agama dan etos
kerja Islami, sama-sama berupa karakter, kebiasaan yang terpancar dari sebuah sikap
hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Sistem keimanan atau aqidah Islam
berhubungan dengan etos kerja Islami, dalam hal ini mencirikan dengan sikap
hidup mendasar. Keduanya sama-sama timbul karena dorongan. Dorongan keduanya
sama-sama dimotivasi dan dipengaruhi oleh sikap hidup yang mendasar terhadap
kerja. Keduanya sama-sama dipengaruhi secara dinamis dan manusiawi oleh
berbagai faktor intern dan ekstern yang bersifat menyeluruh.
Etos Keja Islami merupakan sikap hidup
mendasar mengenai kerja disini identik dengan sistem keimanan atau aqidah Islam
berhubungan dengan kerja atas dasar pemahaman bersumber dari wahyu dan rasio ,yang
saling bekerja sama secara proporsional. Akal lebih banyak berguna untuk media
memahami wahyu (walaupun kemungkinan akal memperoleh pemahaman dari sumber
lain, namun menjadi satu dengan sistem keimanan Islam).
Al-Qura’an dan As-Sunnah Sebagai Sumber
Inspirasi Etos Kerja Islami. Iman eksis dan terbentuk utuk sebuah pemahaman
akal terhadap wahyu. Dalam hal ini akal selain berfungsi untuk media, juga
berperan menjadi sumber. Di samping menjadi dasar acuan etika kerja Islami,
iman Islami (atas dasar pemahaman) berhubungan dengan kerja, inilah yang menimbulkan
sikap hidup mendasar terhadap kerja, sekaligus mendorong kerja Islami. Dorongan
disini muncul dan melihat dari sistem keimanan atau aqidah Islam berhubungan
dengan kerja berasal dari ajaran wahyu dan akal yang saling bekerja sama. Maka
dorongan mulai dari niat ibadah kepada Allah dan iman adanya kehidupan ukhrawi
yang jauh lebih berarti. Etika kerja berdasarkan keimanan terhadap ajaran wahyu
berhubungan dengan etika kerja dan hasil pemahaman akal yang membuat sistem
keimanan atau aqidah Islam sehubungan dengan kerja.
Dari penjelasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahasannya etos kerja seseorang terbentuk oleh adanya dorongan yang
terpancar dari sikap hidupnya yang mendasar terhadap kerja. Sikap itu bisa
bersumber dari akal atau pandangan hidup atau nilai-nilai yang diambil tanpa
harus terhubung dengan iman atau ajaran agama. Khusus untuk orang yang beretos
kerja Islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islami
berhubungan dengan kerja yang diambil dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal.
Sistem keimanan itu berciri dengan sikap hidup mendasar. Ia menjadi sumber dorongan
dan sumber nilai untuk terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja ini secara
dinamis selalu memperoleh pengaruh dari beberapa faktor, baik internal atau
eksternal, sesuai mengenai takdir manusia sebagai makhluk psikofisik yang tidak
kebal dari berbagai macam rangsang, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan
hal itu, terjadinya etos kerja Islami melibatkan berbagai faktor dan tidak
hanya terjadi secara murni oleh satu atau dua faktor tertentu saja.
40-1-SM
Posisi Pemikiran Reaktualisasi Munawir melalui
Peta Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Menurut pengamatan Fazlur Rahman,
sejak abad ke-18 hingga dengan abad ke-20, gerakan pembaharuan pemikiran Islam
bisa digolongkan terhadap empat tipologi,yaitu : (1) Revivalisme Pramodernis,
yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arabia (Wahabiah), India (Syah Waliullah)
dan Afrika (Sanusiah). Gerakan ini bertujuan mengembalikan ajaran Islam
terhadap sumbernya yang asli, tidak hanya dengan pemikiran, tapi kalau bisa
juga dengan senjata. Geraka ini sama sekali belum pernah terkena sentuhan
Barat; (2) Modernisme Klasik, yang kluar pada pertengahan abad ke-19 dan awal
abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Gerakan ini berusaha memperluas
“isi” ijtihad seperti kaitannya antara akal dan wahyu, pembaharuan sosial,
khususnya dalam bidang studi dan status wanita, dan juga pembaruan politik.
Gerakan ini mencoba mengambil ide-ide Barat tanpa harus meninggalkan Al-Qur’an
dan Sunnah . Sekalipun Rahman tidak mencantumkan contohnya, M. Abduh dapat kita
masukkan dalam tipologi ini, yaitu : Neorevivalisme atau Revivalisme
Pascamodernis. Gerakan ketiga ini melihat bahwa Islam itu mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, oleh karna itu tidak membutuhkan ide-ide dari Barat. Gerakan
ini membutukan reaksi terhadap modernisme klasik. Siapa tahu Reaktualisasi
Ajaran Islam masuk terhadap tipologi ini Al-Maududi dari Pakistan dan Hasan
Al-Bana dari Mesir,Neo Modernisme, gerakan yang muncul dari pengaruh neo
revivalisme, tetapi sekaligus juga merupakan cobaan terhadapnya. Neo modernisme
mengembangkan sikap kritis utntuk Barat maupun untuk warisan kesejarahan Islam
sendiri. Untuk itu harus dibahas metodologi tentang pemahaman pengaru-pengaruh Islam
yang kontekstual atau historis. Rahman beanggapan bahwa dirinya sebagai pelopor
gerakan ini. Meninjau tipologi Rahman di atas, gerakan pembaruan Islam di
Indonesia yang telah lahir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 seperti
Sumatera Thawalib di Minangkabau, Muhammadiyah dan Al-Irsyad di Jawa, dan lain
sebagainya. Yang sama bisa dimasukkan untuk tipologi kedua, sekalipun pengaruh
tipologi pertama ,sangat kokoh terhadap gerakan-gerakan pembaruan tersebut. Gerakan
ketiga dan keempat baru terlihat pengaruhnya
di Indonesia sejak tahun 1980an. Pengaruh Neo Revivalisme terlihat pada
gerakan-gerakan Islam Kampus (yang sudah pasti yang berpusat di Masjid Salman,
di Bandung, Arif Rahman Hakim, di Jakarta, dan Jama’ah Shalahuddin, di
Yogyakarta), sedangkan pengaruh Neo Modernisme terlihat terhadap gerakan
pembaruan Nurcholish Madjid dengan Paramadinanya di Jakarta.
Cara
Pendidikan dalam al-Sunnah
Cara pendidikan sebagai bagian yang
penting dalam sebuah pendidikan, tidak sering untuk dipelajari, slalu ada tema
dan penanaman cara pendidikan baru, walaupun sudah banyak tokoh pemikir yang
menemukan cara pendidikan,di bagian Barat seperti Johan Friendrich Herbart asal
Jerman terkenal dengan cara berfikir Induktif dalam menjalankan belajar
mengajar, Johan Heinrich Pestalozzi teori pendidikan yang diambil atas paham
naturalisme, John dewey terkenal dengan cara learning by doing. Sedangkan dalam sebuah dunia muslim Abu Ali
Husain ibn Abdillah ibn Hasan ibn Ali bin Sina cara reward and punishment ,Abu Muhammad Al-Ghazali cara pembiasaan tidak
secara langsung, abdurrahman Abu Zaid ibn Khaldun cara pentahapan dengan
pengulangan.
Wacana sekarang tersebar buku-buku
terbitan dari penerbit dari dalam ataupun dari luar negri yang sudah di artikan
kedalam bahasa indonesia. Dengan mengklompokan macam-macam cara pendidikan
dalam pengatasi permasalahan pendidikan untuk menggapai tujuannya.
00-1-sm
Mengetahui ‘illat dengan nash (Al-Qur’an dan Sunnah)
dalam Qiyas
‘Illat merupakan sifat yang ada dalam hukum asal yang dibuat sebagai
dasar hukum. ‘illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, ‘illat unsur yang
terpenting ,karena dengan adanya ‘illlat maka akan menetapkan adanya qiyas atau
menetapkan suatu hukum untuk bisa direntangkan terhadap masalah yang lain. Pada
dasarnya seluruh hukum syariat itu dinyatakan memiliki latar belakang, sebab
dan unsur kemaslahatan untuk umat manusia, yaitu menolak bahaya dan
menghilangkan kesulitan bagi manusia. Tujuan tersebut dapat dipahami dari
beberapa isyarat atau tanda yang berada didalam teks yang menetapkannya.
Sebagian telah dijelaskan dengan jelas didalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagian
lagi hanyalah berbentuk isyarat dan ada juga yang wajib diteliti dan dianalisa
terlebih dahulu, sehingga para mujtahid membutuhkan metode tertentu untuk
mengetahuinya,dinamakan masalik al-‘illat yang berarti suatu metode yang
digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu kejadian ,yang bisa
digunakan dasar dalammenetapkan hukum. Metode yang terkenal dipergunakan oleh
Ulama’ Ushul fiqih untuk mengetahui i’llat itu,diantaranya : sesui konteks kata
,dalam hal ini kata-kata dalam al-Quran dan Sunnah telah menjelaskan sebuah
sifat yang merupakan ‘illat hukumdari sebuah kejadian.
6-1-sm
Metode
penyusunan buku al-Sunnah al-Nabawiyyah bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-h
Buku yang memiliki 205 halaman ini
pertama kali muncul pada Bulan Januari 1989 M. Dan mengalami muncul kembali
secara berturut-berturut pada Bulan Februari, Maret, April dan Mei pada tahu
yang sama juga. Sementara itu , buku terakhir penulis bisa mengarahkan terbitan
ke-12 bertahun 2001 M. Buku ini diterbitkan oleh Dar al-Syuruq, Kairo. Buku ini juga sudah diartikan kedalam bahasa
Indonesia dengan judul Studi Kritis
atas Hadist Nabi saw.antara pemaham
Tektual dengan Konstektuan. Buku ini adalah buku yang paling kontraversial dari
seluruh karangan-karangannya. Ini bisa terjadi karena didalam buku itu ia
banyak melakukan kritik terhadap hadis yang terdapat dalam sebuah kitab shahih bhukari dan muslim. Dalam jangka
dua tahun sediknya dikluarkan tuju karya.
Buku ini ditulis oleh al-Gazali atas
permohonan Lembagaal-Ma’had al-’Alamili
al-Fikr al-Islami di Mesir. Sebuah lembaga yang dibuat oleh untuk memotivasi
penelitian dan kajian terhadap ajaran-ajaran Islam. Tujuan dibuatnya buku ini
supaya dapat diperoleh penelitian yang obyektif terhadap kata-kata hadisdan
menjauhkannya dari interprestasi yang buruk yang dapat membawa kepemahaman
kekeliruan. Dalam buku yang dinamakan terakhir al-Gazali melakukan kritik terhadap
hadis-hadis yang dipandang sebagai hadis yang memiliki cacat pada matanyadan
dipandang bertentangan terhadap al-Qur’an yang tersurat maupun yang tersirat.
Pada bagian awal ini dijelaskan mengenai beberapa permasalahan ra’yu riwayat
yang dilengkapi dengan beberapa contohyang berkaitan dengan itu. Dalam bagian
awal ini al-Gazali mengatakan mengenai persyaratan ke shahihan hadis. Selanjutnya al-Gazali mengambil beberapa
judulsentral, yaitu: seputardinia wanita, seputar mengenai masalah
nyanyian,agama antara kebiasaan dan ibadah,tata cara makan dan minum,
berpakaian dan membuat rumah, disaat kerasukan setan dan pengobatannya, menelaah al-Qur’an secara
sungguh-sungguh hadis-hadis mengenai Dajjal, penampakan betis Tuhan dan
sebagainya, antara tujuan dan sarana, dan berhubungan ketentuan dan fatalisme.
Buku ini diurutkan berdasarkan tema pertema, sehingga cukup ringan saat dibaca.
Ditambah lagi dengan sistematika yang sangat menarik dengan memasukan beberapa
tema utama terhadap setiap bab, mempermudah pembaca agar bisa konsentrasi
terhadap tema yang sedang dibacanya.
REFERENSI
[1] Sutoyo, “Pengembangan pemahaman
as-sunnah sebagai sumber ajaran islam.”
[2] Abdul Haris, “Hadis nabi
sebagai sumber ajaran islam.”
[3] Sochimin, “Telaah pemikiran
hadis mahmud abu rayyah dalam buku"adwa’ ‘ala al-sunnah
al-muhamadiyah".’”
[4] Zarkasih, “Ingkar sunnah :
Asal-usul dan perkembangan pemikiran inkar sunnah di dunia islam.”
[5] Wasito Raharjo Jati, “Tradisi
sunnah dan bid’ah:Analisa berzanji dalam persepktif Cultural Studies.”
[6] Ahmad Atabik, “Peranan manthuq
dan mafhum dalam menetapkan hukum dari al-Qur’an dan sunnah.”
[7] Erwin Jusuf Thaif, “Al-Qur’an
dan al-sunnah sebagai sumber inspirasi etos kerja islami.”
[8] Yunahar Ilyas, “Reaktualisasi
ajaran islam: Studi atas pemikiran hukum munawir sjadzali.”
[9] Nafiul Lubab, “Metode
pendidikan menurut al-sunnah.”
[10] Kaizal Bay, “Metode mengetahui
‘illat dengan Nash (Al-Qur’an dan Sunnah) dalam Qiyam.”
[11] Yunahar Ilyas, “Reaktualisasi
ajaran islam: Studi atas pemikiran hukum munawir sjadzali.”
Share This :
comment 0 Comments
more_vert